Waktu Bikin Anak Bilang Enak, Setelah Lahir Nyalahin Istri Melulu
Mei 11, 2020
Edit
Kisah ibu muda membunuh anak kandungnya sendiri yang masih balita bahkan batita seolah tidak berhenti.
Setelah pembunuhan anak 2,5 tahun di Deli Serdang dan bayi 3 bulan di Garut pada 2017, ada pula peristiwa di Mataram ketika seorang ibu mengakhiri hidup anaknya yang berumur 13 bulan pada awal 2019.
Kasus lain yang juga mengemuka adalah pembunuhan anak perempuan berusia 3 bulan di Bandung, yang cukup menjadi perhatian karena sang ibu tergolong aktif di media sosial.
Sedangkan yang paling baru adalah kejadian di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pertengahan Oktober silam.
Patut dicatat, seluruh kasus di atas adalah anak yang lahir dari pernikahan resmi. Kalau kita harus menambahkan cerita bayi yang baru lahir dan langsung dikirim ke surga oleh orangtuanya sendiri karena merupakan hasil hubungan di luar nikah, tentu daftarnya akan semakin panjang.
Belum lama ini, seorang ibu muda berusia 21 tahun dikabarkan membunuh anaknya yang berumur 2,5 tahun dengan cara mencekoki air karena sang anak tidak mau makan. Si ibu memaksa anaknya minum air dengan posisi hidung anak ditutup.
Beberapa pengakuan terungkap di media mainstream maupun media sosial, antara lain sang ibu kesal dengan suami karena menganggap dirinya tidak berlaku adil pada anak kembarnya, sehingga sang anak yang menjadi korban badannya lebih kurus dibandingkan kembarannya yang diasuh oleh orangtua si suami.
Disebutkan pula bahwa si suami punya cicilan pinjaman daring, cicilan sepeda motor, hingga sewa rumah yang jatuh tempo dan belum dibayar.
Sang ibu muda juga disebut stres karena diancam cerai, jika anaknya tidak bisa gemuk. Setidaknya begitu yang disampaikan oleh polisi dan dikutip oleh berbagai media online.
Media online dengan ngeri memberikan judul yang semakin menyudutkan sang ibu muda. Kata seperti “tega”, “bikin geram”, atau “kejam” seolah-olah menjadi bagian dari objektivitas pemberitaan.
Seakan-akan seluruh masalah adalah milik si pelaku dan untuk itu dia harus menanggung segala akibatnya.
Demikianlah bangsa kita yang bersiap menghadapi bonus demografi ini. Tidak cukup banyak masyarakat yang sadar dalam mempersiapkan diri untuk keadaan dimana penduduk usia produktifnya lebih tinggi daripada yang tidak.
Kombinasi struktur di masyarakat, tuntutan keluarga, hingga minimnya pendidikan se*ks kemudian menjurus pada terbentuknya rumah tangga yang tidak sehat.
Pada kasus terkini, misalnya, usia pelaku adalah 21 tahun dengan anak berusia 2,5 tahun.
Dengan demikian, setidaknya sang ibu melahirkan pada usia kurang lebih 18 tahun, dan berarti hamil pada usia sekitar 17 tahun!
Satu lagi tambahan fakta bahwa menikah muda tidak selalu menjadi solusi, karena sering kali malah menjadi masalah.
Kalau dipikir-pikir, dalam urusan anak ini sebenarnya tidak ada yang sepenuhnya enak.
Okelah, se*ks sering disebut ena-ena, tapi nyatanya ada yang sudah berhubungan se*ks dengan berbagai metode tapi tetap belum bisa menciptakan pembuahan.
Ketika kemudian terjadi pembuahan, maka tahapannya membutuhkan sikap saling mendukung antara laki-laki dan perempuan, baik dalam status suami-istri maupun tidak.
Setiap tahapan hanya akan terasa enak, jika ada sikap saling mendukung.
Terutama sesudah melahirkan, ada fase baru yang harus dihadapi dalam kehidupan.
Seorang suami seharusnya tidak bisa main-main lagi, sedangkan sang istri tentunya telah lebih terbiasa karena sudah ‘mengasuh’ anak selama 9 bulan sebelumnya.
Pada posisi ini, terutama untuk anak pertama, maka yang berseliweran adalah idealisme sebagai orangtua baru bercampur kebingungan pada berbagai hal, yang berpadu dengan omongan dari orang-orang terdekat, semisal orangtua, mertua, atau keluarga inti lainnya.
Saya masih ingat, ketika anak saya berusia beberapa hari, salah satu orang dekat memberikan komentar bahwa kami tidak siap jadi orangtua.
Itu semata-mata karena kami hanya menyiapkan satu jenis dot untuk meminumkan ASIP yang diencerkan. Orang lagi butuh bantuan malah dapat vonis semacam itu, kan sangat nganu sekali.
Saya pun mencermati satu per satu komentar pada berita pembunuhan anak, dan ternyata banyak ibu muda lainnya yang curhat mendapatkan komentar serupa.
Semakin aneh ketika kemudian si suami bukannya bantu nyuapin, malah mengancam akan menceraikan sang istri. Di mana saling mendukungnya kalau begitu?
Ketika anak tidak gemuk, ya tidak ada juga ibu yang mengharapkan anaknya demikian. Namun, ketika faktanya sang anak tidak mau makan, itu adalah pekerjaan rumah orangtua – yang berarti suami dan istri secara bersama-sama – untuk mencari solusinya.
Entah ke tenaga kesehatan, mengupayakan menu-menu baru yang siapa tahu disukai anak, atau hal-hal lainnya.
Ketika suami hanya bisa menuntut bahkan mengancam, dan diperparah oleh perkara cicilan yang menumpuk, selalu ada potensi munculnya ide-ide absurd.
Salah satunya mencekoki anak dengan air supaya cepat gemuk seperti kasus tadi.
Masalahnya, komentar dan tuntutan dari orang-orang dekat bukanlah hal yang bisa dibantah semudah membungkam tetangga yang urun omongan.
Ada posisi serba salah ketika yang melontarkan kata-kata yang mengganggu psikis itu adalah orangtua atau mertua.
Mau dibantah, nanti dibilang durhaka. Mau diberikan fakta-fakta bahwa anak yang tampak kurus itu sebenarnya kurva pertumbuhannya masih normal, nanti dikira melawan orangtua.
Itulah sebabnya perlu ada saling mendukung. Ketika suami dan istri bersama-sama menghadapi komentar dari orangtua atau mertua, biasanya bibit-bibit permasalahan bisa dipadamkan.
Misalnya, ketika yang banyak komentar adalah orangtua suami, ya biarkan suami yang berurusan dengan orangtuanya, sehingga nggak ada kisah menantu kurang ajar. Begitu sebaliknya.
Persoalan terbesar yang kerap terjadi adalah suami justru menjadi bagian dari orang-orang dekat yang kejam itu.
Mengancam akan cerai, membalas curhat istri dengan “ngasuh anak kok ngeluh, gimana sih?”, atau hal-hal lain yang tidak berpihak kepada istrinya sendiri dalam merawat anak, adalah contoh kelakuan suami yang cenderung bikin perkara baru di kemudian hari.
Akibatnya, sering kali terjadi hal-hal yang buruk. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, hingga pembunuhan terhadap anak.
Padahal, dampak buruk itu sesungguhnya bisa dihindari dengan apa yang telah saya uraikan tadi.
Suami boleh aja sih berkomentar “ngasuh anak kok ngeluh”, asalkan dia juga ikutan mengasuh anak.
Atau, kalau memang sudah disepakati bahwa suami memang tidak akan mengurus anak, ya kalau istri lagi butuh katarsis silakan didengarkan tanpa perlu dikomentari berlebihan.
Lagipula, membandingkan kelelahan istri mengasuh anak dengan lelahnya suami bekerja, ya itu namanya apple to watermelon.
Saya sendiri sebenarnya berada dalam circle pergaulan bapak-bapak yang fasih mengasuh anak.
Sebagaimana artikel ini saya tulis dalam posisi sambil memberi makan siang anak dan istri sedang pergi bekerja.
Eh, begitu mendapati komentar ibu-ibu yang sebagian besar curhat di linimasa mengomentari pembunuhan di Kebon Jeruk tadi, saya baru ngeh bahwa ternyata belum banyak bapak-bapak yang mengalami perubahan paradigma pengasuhan anak.
Bagaimanapun, menikah itu untuk membangun rumah tangga guna kehidupan dan masa depan yang lebih baik, sehingga saling mendukung adalah wujud upaya bersama mencapai tujuan yang sama.
Pasti akan sangat berbeda hasilnya ketika pernikahan hanya dipandang sebagai wadah agar bisa berhubungan se*ks yang legal secara agama dan negara.
Sumber: voxpop.id