Ketika Proses Menghalalkan Dipersulit, Maka Membanyakkan yang Haram Akan Semakin Mudah



Zaman sekarang katanya zaman yang serba mudah. Ya, mudah mendapatkan akses apapun.
Saat lapar tinggal klik dengan satu jari maka makanan akan datang. Saat lelah, tinggal klik dengan jari maka kamu akan diantar ke manapun kamu mau bak putri raja.
Bahkan saking mudahnya, kita gampang termakan cerita-cerita yang kita tahu kadang itu tidak benar tapi masih saja percaya.
Hingga melanggar norma-norma yang ada dalam kehidupan kita pun di anggap biasa, mengatakan bahwa hal hal menyangkut agama, budaya, itu adalah hal yang tidak boleh di bahas, atau kamu akan dianggap kolot dan disisihkan dalam pergaulan. Miris bukan?
Tapi di sini kita akan membahas hal lain, jika biasanya yang tua merasa khawatir dengan perkembangan yang muda, maka kali ini biarlah tertoreh sedikit tulisan yang menyentil sedikit orang tua.
Bisa juga tulisan ini menjadi peringatan bagi para orang tua atau calon orangtua nantinya.
Lihatlah, zaman sekarang ada sebagian orangtua (ingat di sini hanya cerita sebagian orang tua bukan semuanya seperti ini) yang sangat senang anaknya sudah cukup dewasa, sudah wisuda atau pun belum wisuda memiliki pasangan hidup alias “pacar” bahkan jika si anak jomblo maka akan sering ditertawakan dan malah menyuruh si anak untuk mencari pacar. Karena kalau tidak punya pacar tidak gaul.
“Mengapa senang melihat anak berfoto mesra dengan pacarnya tetapi tidak suka ketika anak merencanakan ingin ke KUA.”
Ketika si anak punya pacar pun lebih banyak orangtua melihat dari sisi paras, harta, kedudukan atau status sosial dan tak jarang latar belakang keluarga dari pacar anaknya.
Jika bagus semuanya maka orangtua ini mengizinkan anaknya berpacaran dengan orang tersebut.
Saat anaknya meminta izin untuk pergi dengan pacarnya pun sang orang tua memperbolehkan saja, sang anak pulang malam habis “berkencan” dengan pacarnya pun diizinkan saja asal jangan pulang lewat jam 9 atau 10 malam, atau juga saat pacarnya menemui sang anak ke rumah diizinkan saja malah tidak ditemani.
Apakah anda yakin anak anda akan baik-baik saja? Ya, mungkin dari fisik terlihat ia tidak terluka sedikitpun, apakah anda yakin?
Apakah ini yang namanya memberi kepercayaan dan menjaga anak anda? Tulisan ini tidak ada maksud menceramahi di dalamnya, hanya saja untuk saling mengingatkan dan membuka pikiran kita masing masing.
Suatu hari datanglah si anak meminta izin untuk menikah pada orangtuanya. Si orangtua marah dan mengatakan bahwa si anak belum siap untuk menikah.
Si anak harus mapan dulu dengan pasangan atau belum cukup biaya untuk membuat pesta pernikahan.
Yang intinya si anak tidak boleh menikah, padahal bagi si anak ia ingin menempuh jalan yang halal dengan menikah, dan tidak butuh pesta mewah karena butuhnya restu dan sah dari walinya.
Duhai para orangtua, yang mempunyai putra dan putri yang sudah dewasa, mengapa begitu takut ketika anak akan menikah?
Mengapa menghalangi niat baik saat si anak ingin menempuh jalan yang halal?
Atau lebih senang jika nantinya si anak memilih “kawin lari”? Atau tunggu bermaksiat dulu baru akan dinikahkan?
Bukankah menikah ini ibadah? Tidak perlu menunggu mapan kedua anak itu. Yang perlu adalah mereka siap lahir dan batin untuk menikah.
Untuk apa dihalangi dengan hal yang tidak masuk akal? Dengan dunawi? Dengan adat? Untuk apa? Bukankah di mata Tuhan semua sama saja?
Bukankah menikah untuk menyempurnakan agama? Dan jika nantinya si anak memilih menikah dengan sederhana tidak perlu malu di hadapan manusia, karena bagi Allah kita semua sama! Amalanlah pembedanya.
Menikah itu mudah. Hanya perlu calon pengantin: pria dan wanita, wali, penghulu, serta dua orang saksi.
Bukan harus mapan, berjabatan tinggi, atau harus terlihat bagus di mata masyarakat atau harta yang banyak? Bukan itu syaratnya menikah. Yakinlah sama janji Allah:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya …” (QS. an-Nur : 32).
Sekali lagi, tulisan ini dibuat bukan maksud mengintervensi ataupun mengkampanyekan ajakan untuk menikahkan anak.
Tapi berilah izin pada sang anak dan permudahkan jalannya untuk menghalalkan apabila si anak sudah siap lahir dan batin; bukan menghalangi dengan alasan duniawi.
Bukankah menjadi baik itu baik? Atau kita lebih senang melihatnya berjalan bukan dengan yang halal? Dan setiap langkahnya adalah dosa bagi dirinya?
Sumber: hipwee.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel