Kadang Keluarga Terdekat Justru yang Melukai Hati Kita Begitu Dalam
Juli 22, 2020
Edit
Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
Oleh: Analisa Svastika
Hai, aku Analisa. Aku akan berbagi cerita perjalanan bagaimana lingkungan keluargaku membesarkanku hingga ada di titik saat ini. Tentang bagaimana aku jatuh dan bangun, berkali-kali demi menemukan jati diri siapa aku dan akan bagaimana aku membentuk aku yang kuingini.
Dulu, ayah seorang yang berkecukupan di masa mudanya. Beliau lahir dan dibesarkan di Kota Tasikmalaya. Kakek, orang tua ayah adalah orang yang cukup terpandang. Seperti halnya bagaimana cerita sinetron tentang keberadaan orang-orang berpengaruh, selalu menjadi incaran seseorang untuk memiliki kesenangan tersebut.
Singkat cerita, kakekku menikah lagi, dengan seorang perempuan muda hingga mempunyai anak. Lalu, bagaimana nenekku? Nenek menderita gangguan jiwa dan tinggal di rumahnya sendiri ditempatkan persis di ruangan belakang dekat dengan dapur, melakukan aktivitas layaknya bukan seorang istri sah kakek. Kemudian terdengar kabar bahwa kakek meninggal, harta kakek dimiliki sepenuhnya oleh istri mudanya, dan nenek? meninggal dalam keadaan menderita gangguan kejiwaan.
Lalu, ayah? Seorang laki-laki kecil itu memiliki cukup harta warisan kakek, namun karena masa mudanya tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, ayahku ikut serta dengan paman. Beranjak dewasa ayah lebih senang menjadi gelandangan, untuk mencukupi kebutuhan, ayah lebih memilih menjual rumah, tanah peninggalan kakek, berbagai barang pun dijualnya untuk menyenangkan dirinya di masa muda, mencari jati dirinya. Ayah merupakan seorang pekerja seni, singgah dari satu tempat pemutaran film satu dan lainnya menjadikannya lihai di dunia perfilman, sayangnya ayah tidak mendapatkan akses pendidikan sejak ditinggal kedua orang tuanya. Lebih tepatnya tidak pernah mencicipi bagaimana rasanya mendapat pendidikan formal dan diberikan akses pengajaran oleh para guru.
Mari beranjak cerita ke ibuku. Orang tua dari ibuku juga cukup terpandang di Beber, Cirebon. Bagaimana tidak, kakek dari ibuku begitu disegani. Ibu yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga sangatlah dimanja. Memiliki akses pendidikan, hanya nasib kurang beruntung padanya. Ibu hanya mengenyam bangku sekolah hingga jenjang sekolah dasar. Bagaimana nilai-nilai di sekolahannya? Sangat memuaskan, bahkan sampai detik ini aku masih memegang rapor ibu untuk membantuku mendaftarkan ibu pada program kejar paket kesetaraan B, dan C.
Sejak kecil ibu sangat disayang kakek dan nenek, semua keinginan ibu terpenuhi tanpa kata tidak, ibu pernah bercerita bahwa sejak kecil suka sekali dibelikan emas, anting-anting, gelang, cincin, kalung oleh kakek dan nenekku. Saat beranjak remaja, ketika ibu ingin melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, saudara-saudara jauh ibu menyarankan untuk ibu ikut sekolah jahit saja, jadi bukan pendidikan formal seperti yang ibu inginkan. Bisa jadi, pemikiran waktu dulu dipertimbangkan karena ‘untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya dapur juga tujuannya’. Tidak seperti kakaknya ibu yang sukses hingga lanjut kuliah, ibuku? Pergi merantau ke Kota Tangerang.
Di masa ini, aku mendengar cerita langsung dari ibu, bahwa di masa remajanya ibu senang sekali bepergian dari satu kota ke kota lainnya, berbagai pulau disinggahi, kota-kota di daerah Jawa dan Sumatera terkhususnya. Ibu sangat aktif di usia remajanya. Hingga ibu dipilih menjadi ketua regu di tempat kerjanya. Masalah percintaan ibu, seorang kepala divisi menyukainya (ibu menyebutnya mandor, entah apa sebutannya sekarang). Namun, cinta mandor tersebut bertepuk sebelah tangan, yang disukai ibu adalah ayah, seorang yang bahkan tak jelas pekerjaannya, pun tidak pernah bercerita
Kita Tak Bisa Memilih di Mana Kita Dilahirkan
Aku sendiri? Di umurku yang menginjak golden age, aku sudah diajak bepergian ke Jakarta, pernah memergoki ayah remang-remang sedang main remi, tertawa tak ada beban, dan bahkan satu hal yang sangat membekas di ingatanku ketika usia sekolah dasar adalah setiap malam aku selalu memergoki aktivitas seksual ayah dan ibu, sebab kami satu tempat tidur, meski dengan lampu padam, jeritan, desahan, suara decit ranjang, semua itu terngiang hingga detik ini. Ingatan tersebut membekas sebagai ingatan jangka panjang.
Andai aku dapat memilih oleh siapa aku dilahirkan…
Aku ingin membalas semua kenangan pahit saudaraku, dengan membahagiakannya, membuatnya tertawa. Hingga saat ini, aku hanya dapat menyetorkan juara-juara lomba yang kuikuti dan piala yang aku dapatkan ketika pulang, kakakku yang pertama sejak dulu pasti akan tersenyum bangga, tak tahu saja bahwa aku sedang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mendaftarkannya agar dapat ikut Ujian Paket Kesetaraan tak lama lagi, aku ingin agar kepintarannya dapat dibalas dengan hal yang seharusnya ia dapatkan sejak dulu, segala perjuangannya menjadi perantau di usia remaja, ingin aku balas dengan hal-hal baik.
Teruntuk kakak keduaku, aku ingin selalu memegang amanahnya agar dapat selalu memaklumi keadaan orang tua, ayah dan ibu, untuk apa disesalkan, ketika tahu bahwa salah satu orang tua telah menghambat kami untuk berkembang, ketika kami harus beranjak dari satu rumah, hingga rumah kontrakan lain selama puluh tahun hingga saat ini, ketika sedikit uang yang dipunya harus dibagi dengan membelikan keinginan bapak yang sebenarnya lebih penting untuk dibelikan beras dan biaya kontrakan bulanan.
Kakak keduaku yang di usia 20-an dengan sigap menghalau ayah yang pulang dalam keadaan mabuk malam-malam, yang memegang knalpot siap untuk meremukkan kepala kakak. Sampai sini sudah boleh tahan tangis? Lalu, kepada kakak ketigaku, yang selalu merasa bungsu dan sangat disayangi ayah sejak kecil, selalu dibawa kemana-mana ketika bepergian, yang di detik ini selalu diberikan ungkapan toxic dengan ujaran, “Kamu sudah tua, seumuran kamu harusnya sudah punya anak, heh gila jangan ini, jangan itu!” ujaran itu selalu aku dengar saat aku pulang. Ujaran itu sampai ke ulu hatiku, pun pikiran terdalamku, sangat mengusik, sakit.
Belum lagi kabar, saat adik perempuanku yang beberapa kali harus pulang karena selalu gagal saat menghadapi tahap wawancara kerja, habis-habisan dengan kata-kata, menjadikannya seorang perempuan yang membenci kehadiranku, kadang ujaranku dilawan dengan nada penuh kebencian, akhirnya aku membalas dengan hanya diam, bukan tak mampu menasihati, namun aku masih mencari bagaimana cara terbaik untuk merangkul. Si bungsu menjadi seorang yang cuek, yang akan melawan jika lingkungannya terancam, termasuk saat uangnya diusik ayah untuk dibelikan sesuatu padahal itu barang yang tak guna, uang tabungan yang akan ia gunakan untuk bekerja katanya.
Andai setiap anak boleh memilih siapa orangtua yang melahirkannya…
Ibu dan ayah yang paham pendidikan, tidak pernah memperlakukan dengan kekerasan dalam mendidik anak, merangkul dengan sayang, menasihati dengan tetap menghargai pujian-pujian. Semua itu aku pelajari, sendiri, dari cerita keluargaku, dari cerita orang-orang sekitarku. Agar Aku dapat mem-filter hal-hal menyakitkan agar tidak aku lakukan kemudian. Aku senang menulis, sebab hanya dengan cara ini, aku menjadi seorang yang bukan pendendam. Aku membenci mengapa aku dilahirkan dengan harus selalu mendengar kata-kata menjatuhkan, dari orang terdekatku, ayahku yang seharusnya aku sayang. Tapi, ibu selalu menasihati. Bagaimanapun keadaannya, ini ayahmu sendiri. “Tidak, Bu!” Bagiku orang tua pantas dianggap orang tua jika ia sebenarnya sudah siap memiliki anak, jika belum siap, untuk apa hanya melampiaskan nafsu dan menjadikannya tumbuh besar menjadi mansuai berotak dan berhati namun dibesarkan dengan ujaran-ujaran kebencian.
#ChangeMaker
Sumber: Fimela.com