BMKG Tanggapi Potensi Tsunami 20 Meter di Selatan Jawa, Ancam 584 Desa yang Dihuni 600.000 Jiwa

BMKG Tanggapi Potensi Tsunami 20 Meter di Selatan Jawa, Ancam 584 Desa yang Dihuni 600.000 Jiwa

Beberapa hari belakangan media sosial dihebohkan dengan kabar potensi gempa dan tsunami Selatan Jawa.
Viralnya kabar ini karena dalam narasi yang beredar ada potensi gempa besar mencapai magnitudo 8,8 dan tsunami di Yogyakarta mencapai 20 meter.

Kabar tersebut meresahkan warga yang tinggal di wilayah Pantai Selatan Jawa.
Berita ini juga menuntut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono untuk menjernihkan permasalahan.
"Jawaban saya adalah bahwa kita harus jujur mengakui dan menerima kenyataan bahwa wilayah kita memang rawan gempa dan tsunami," ungkapnya melalui pesan singkat, Sabtu (20/07/2019).
"Khususnya wilayah selatan Jawa, keberadaan zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia merupakan generator gempa kuat sehingga wajar jika wilayah selatan Jawa merupakan kawasan rawan gempa dan tsunami," tegasnya.
Untuk diketahui, wilayah Samudra Hindia selatan Jawa memang sudah sering kali terjadi gempa besar dengan kekuatan di atas M 7,0. Daryono juga mencatat sejarah daftar gempa besar seperti gempa Samudra Hindia.

Dalam catatan BMKG, gempa besar di Selatan Jawa pernah terjadi tahun 1863,1867, 1871, 1896, 1903, 1923, 1937, 1945,1958, 1962, 1967, 1979, 1980, 1981, 1994, dan 2006.
"Sementara itu tsunami Selatan Jawa juga pernah terjadi pada tahun 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006," ujar Daryono.

"Ini bukti bahwa informasi potensi bahaya gempa yang disampaikan para ahli adalah benar bukanlah berita bohong," tambahnya.
Meski begitu, Daryono menegaskan bahwa besarnya magnitudo gempa yang disampaikan para pakar adalah potensi bukan prediksi.
"Sehingga kapan terjadinya tidak ada satupun orang yang tahu," tegas Daryono.

"Untuk itu dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi struktural dan non struktural yang nyata dengan cara membangun bangunan aman gempa, melakukan penataan tata ruang pantai yang aman dari tsunami, serta membangun kapasitas masyarakat terkait cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami," imbuhnya.
Daryono menyebut ini adalah risiko tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng.
"Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka inilah risiko yang harus kita hadapi," tutur Daryono.
Dia juga mengatakan, masyarakat tidak perlu cemas dan takut. Lebih lanjut, Daryono menyebut bahwa semua informasi potensi gempa dan tsunami harus direspons dengan langkah nyata dengan cara memperkuat mitigasi.
"Dengan mewujudkan semua langkah mitigasi maka kita dapat meminimalkan dampak, sehingga kita tetap dapat hidup dengan selamat, aman, dan nyaman di daerah rawan gempa," kata Daryono.

"Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia, yang penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakatnya, maupun infrastruktur untuk menghadapi gempa dan tsunami yang mungkin terjadi," pungkasnya.
Ekspedisi Destana

Sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaksanakan kegiatan Desa Tangguh Bencana (Ekspedisi Destana) di tengah ancaman tsunami yang mengintai ratusan desa sepanjang Pantai Selatan Jawa, yang didiami lebih dari 600.000 jiwa.
Ekspedisi Destana akan diadakan mulai tanggal 11 Juli hingga 16 Agustus 2019 di desa rawan tsunami sepanjang Banyuwangi, Jawa Timur, hingga Banten.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Lilik Kurniawan, mengatakan program ini adalah respons cepat BNPB terjadap hasil kajian risiko bencana yang menunjukkan ada 5.744 desa di Indonesia berada di daerah rawan tsunami.

Sebanyak 584 desa itu berada di Selatan Jawa.
Lilik mengatakan program penangguhan masyarakat perlu dilakukan agar masyarakat tahu cara menyelamatkan diri saat terjadi tsunami.
"Kalau misalnya hari ini ada tsunami terjadi di Selatan Jawa, kami khawatir korban akan sangat banyak," ujar Lilik.
Dalam program itu, kata Lilik, BNPB yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan sejumlah lembaga terkait, akan memastikan desa-desa itu memiliki sirine peringatan bencana, jalur dan tempat evakuasi, juga rambu-rambu evakuasi.
Ekspedisi Destana tsunami
BNPB


Ia menyebut keberadaan rambu-rambu itu sangat penting mengingat daerah di Pantai Selatan Jawa adalah daerah pariwisata.

Menurut data BNPB, lebih dari 90 persen korban jiwa tsunami Pandeglang, Banten, tahun lalu, adalah wisatawan.
Lebih dari 400 jiwa meninggal dan hampir 1.500 orang luka-luka dalam bencana itu.
Kegiatan Ekspedisi Destana rencananya akan dilakukan di sejumlah sekolah, pasar, dan puskesmas di desa-desa.

Kepala Pusat Inovasi Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA, menambahkan kegiatan itu akan dilengkapi dengan latihan dan simulasi untuk mengurangi risiko korban jiwa dan harta benda jika terjadi bencana.
"Jika Early Warning System (EWS) berbunyi, apa yang harus dilakukan? Kemana harus menghindarkan diri? Layanan fasilitas apa yang harus dimiliki daerah tertentu? Ini yang akan disimulasikan," ujarnya.
Sementara, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menyebut BMKG akan mensosialisasikan tiga level peringatan tsunami pada kegiatan ini.
Tahun depan, kegiatan serupa juga akan dilakukan di Pulau Sumatera, mulai dari Aceh hingga Padang.
level peringatan tsunami
Perlu dilakukan berulang
Pengamat Gempa, Herry Harjono, yang merupakan mantan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan program tersebut penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan warga.
Namun, ia menekankan, kegiatan edukasi tidak bisa hanya dilakukan satu kali, tapi harus dilakukan berulang-ulang secara mandiri oleh warga, khususnya di tingkat RT dan RW.
"Masyarakat di desa harus paham, bisa latihan sendiri," ujarnya.
Ia mengapresiasi kegiatan ini meski instrumen deteksi gempa di Indonesia, seperti sejumlah buoy, tidak beroperasi karena rusak.
"Sementara buoy rusak, kan kita harus tetap berusaha untuk bisa selamat?" ujar Herry.
Pada bulan April lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memasang sebuah buoy pada kawasan Gunung Anak Krakatau.
Buoy ini adalah satu-satunya buoy yang beroperasi saat ini.
Herry mengatakan pemasangan buoy juga alat pendeteksi tsunami lain penting untuk terus dilakukan untuk mengumpulkan data dan mengevaluasi bencana-bencana yang terjadi.
"Mestinya, karena kita (Indonesia) tempatnya gempa, gunung api, tsunami, longsor, harusnya kita jadi bangsa 'jagoan' di situ," ujarnya.
Buoy
BPPT
Meski begitu, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menyebut meski tanpa buoy, BMKG tetap bisa memberi peringatan pada warga.
"Warning tsunami itu dari hasil sensor seismograf, hitung-hitungan pemodelan tsunami," ujarnya.
Sementara itu, Iyan Turyana, pakar teknik kelautan BPPT, mengatakan hingga akhir tahun nanti, BPPT berencana memasang empat buoy dan dua sistem Cable Based Tsunameter atau CBT, yang juga bisa digunakan untuk mendeteksi gempa.
Buoy itu akan dipasang dari sekitar perairan Bengkulu hingga Bali.
Sementera, CBT akan dipasang di Selat Sunda hingga Mentawai.
"Sampai saat ini masih dalam proses administrasi untuk pendanaannya," ujar Iyan.
Ia menyebut idealnya terdapat sekitar 22 buoy di perairan Indonesia.
Meski begitu, Iyan mejelaskan biaya pemasangan dan perawatan satu buoy ckup mahal, mencapai miliaran Rupiah.
Secara bertahap, BPPT akan mengembangkan sistem CBT, yang menurut Iyan, memiliki manfaat yang sama dengan buoy.

Iyan menambahkan, dari segi perawatan, kabel lebih efisien dibandingkan buoy yang setiap tahunnya harus diganti baterai. Selain itu kabel juga tidak mudah dirusak orang.
Dalam jangka panjang, ujarnya, BPPT tengah melakukan studi kelayakan untuk memasang CBT ribuat kilometer dari Selatan Jawa sampai Sumatera.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel